Think smart - Work hard - Syukur dan Tawakkal

Think smart - Work hard - Syukur dan Tawakkal

Sunday, December 11, 2011

Operasional Bank Islam

OPERASIONAL BANK ISLAM


Irvan Desmal



I. PENDAHULUAN

Gerakan lembaga keuangan Islam modern dimulai dengan didirikannya sebuah local saving bank yang beroperasi tanpa bunga di desa Mit Ghamir di tepi sungai Nil Mesir pada yahun 1969 oleh Dr. Abdul Hamid An Naggar . Walaupun beberapa tahun kemudian tutup karena masalah manajemen, bank lokal ini telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam pertama di Makkah pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian, lahirlah Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara, termasuk negara-negara bukan anggota OKI, seperti Philipina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia. Kemudian secara berturut-turut berdirilah sejumlah bank berbasis Islam antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979) Phillipine Amanah Bank (1973) berdasarkan dekrit presiden, dan Muslim Pilgrims Savings Corporation (1983).

Perkembangan perbankan Islam merupakan fenomena yang menarik kalangan akademisi maupun praktisi dalam 20 tahun terakhir. Tak kurang IMF juga telah melakukan kajiankajian atas praktek perbankan Islam scbagai alternatif sistem keuangan internasional yang memberikan peluang upaya penyempurnaan sistem keuangan internasional yang belakangan dirasakan banyak sekali mengalami goncangan dan ketidakstabilan yang menyebabkan krisis dan keterpurukan ekonomi akibat lebih dominannya sektor finansial dibanding sektor riil dalam hubungan perekonomian dunia.

Beberapa kajian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan perdagangan uang dan derivasinya tumbuh kurang lebih 800 kali lipat dibanding laju pertumbuhan sektor riil dan semakin tidak terintegrasinya kegiatan sektor riil dengan sektor moneter sehingga timbul berbagai distorsi dalam mengakselerasi pembangunan ekonomi dunia karena pengaruh yang sangat kuat dari perilaku ekonomi yang spekulatif dan tidak berbasis pada kondisi riil potensi ekonomi yang ada. Tidak lama sebelum terjadinya krisis mata uang di Asia khususnya Asia Tenggara, kawasan ini masih dinilai sebagai kawasan yang mempunyai iaju pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan oleh sebagian besar pakar dan lembaga keuangan internasional namun sebenarnya telah ada pula yang mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut lebih bersifat semu seperti gelembung sabun atau balon karena tidak mencerminkan fundamental ekonomi yang kuat, yang tidak lain adalah kekuatan riil ekonomi dengan tingkat produktifitas yang tinggi dan efisiensi ekonomi yang optimal.

Meskipun tidak semua mengakui secara terus terang tetapi disadari sepenuhnya bahwa sistem ekonomi yang berbasis kapitalis dan interest base serta menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan bahkan secara besar-besaran ternyata memberikan implikasi yang serius terhadap kerusakan hubungan ekonomi yang adil dan produktif. Pidato PM Malaysia DR. Mahathir pada sidang IMF di Hongkong tentang hal-hal tersebut diatas dianggap sangat fenomenal dan menggugah kesadaran berbagai pihak untuk setidak-tidaknya tergerak mempelajari lebih jauh kebenaran argumentasi yang muncul tentang kerusakan sistem keuangan dunia, bahkan belakangan Soros pun sudah mulai mengkritik sistem kapitalis yang kelewat bebas dalam pengaturan arus keuangan dunia.

Secara politis dan praktis upaya memperkenalkan sistem keuangan berdasarkan pandangan Islam tersebut masih harus melewati jalan panjang tidak saja dari segi pemantapan fondasi teoritis dan praktis tetapi iebih dari itu diperlukan kekuatan untuk meyakinkan kelompok pelaku utama keuangan internasional dan negara maju bahwa sistem keuangan yang berbasis pada prinsip ekonomi Islam dapat menjamin terselenggaranya perekonomian dunia yang lebih adil dan membawa kesejahteraan umat manusia sesuai dengan konsep Islam "rahmatan lil alamin" Kajian atas kekayaan prinsip ekonomi Islam serta praktek ekonomi yang berlaku pada masa Rasulullah khususnya pada periode Madinah telah lama dilakukan, sehingga pada masa sekarang telah tumbuh dan berkembang berbagai pusat kajian akademis tentang ekonomi Islam khususnya tentang lembaga keuangan Islam diberbagai negara bahkan dinegara non muslim sekalipun seperti di Harvard Amerika, beberapa universitas di London, Australia dan tentu saja di negara-negara berpenduduk muslim termasuk Malaysia dan Indonesia.

Upaya intensif pendirian Bank Islam di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen).

Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada tanggal 19-22 Agustus 1990 yang kemudian diikuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasikan, maka Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal wat Tamwil (BMT).

Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori pendirian asuransi Islam pertama di Indonesia yaitu Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, Bank Muamalat mensponsori Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang kemudian diikuti oleh beroperasinya lembaga reksadana syariah oleh PT. Danareksa. Di tahun yang sama pula, berdiri sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) syariah, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.

Selama lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sistim beroperasinya Perbankan Syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa Perbankan Syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku (yang nota bene berbasis bunga/konvensional), di Indonesia. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional.

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistim perbankan nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Kini jumlah Bank Umum Syariah di Indonesia telah bertambah dengan telah beroperasinya Bank IFI Cabang Syariah dan Bank Syariah Mandiri, disamping Bank Muamalat Indonesia dan 78 BPR Syariah yang telah ada



II. KONSEP DASAR DAN PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM

Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas). Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu; pertama, Aqidah. Aqidah merupakan komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang muslim manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata untuk mendapatkan keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah.

Pilar yang kedua adalah Syariah. Syariah merupakan komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang menjadi keyakinannya. Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut muamalah maliyah.

Sedangkan pilar yang ketiga adalah Akhlaq. Akhlaq merupakan landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana hadis nabi yang menyatakan "Tdaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk menjadikan akhlaqul karimah" Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan ekonomi umat yang antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut :

• Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.

• Riba dalam segala bentuknya dilarang bahkan dalam ayat Alquran tentang

pelarangan riba yang terakhir yaitu surat Al Baqarah ayat 278-279 secara tegas dinyatakan sebagai berikut:

”Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba itu jika kamu orang beriman. Kalau kamu tiada memperbuatnya ketahuilah ada peperangan dari Allah dan RasulNya terhadapmu dan jika kamu bertobat maka untukmu polcok-pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya.”



Di dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfiman;

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah:275)



Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(Al-Baqarah:276)



Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)



Hadits Nabi Muhammad SAW;

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).



Nabi bersabda artinya : “Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya, dan beliau bersabda : mereka itu sama ( HR Muslim)



• Larangan riba juga terdapat dalam ajaran kristen baik perjanjian lama maupun perjanjian baru yang pada intinya menghendaki pemberian pinjaman pada orang lain tanpa meminta bunga sebagai imbalan.

• Meskipun masih ada sementara pendapat khususnya di Indonesia yang masih meragukan apakah bunga bank termasuk riba atau bukan, maka sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic banker dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba diharamkan.

• Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung unsur spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat.

• Harta harus berputar (diniagakan) sehingga tidak boleh hanya berpusat pada segelintir orang dan Allah sangat tidak menyukai orang yang menimbun harta sehingga tidak produktif dan oleh karenanya bagi mereka yang mempunyai harta yang tidak produktif akan dikenakan zakat yang lebih besar dibanding jika diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi ajaran yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi sebagai khalifah yang menerima amanah dari Allah sebagai pemilik mutlak segala yang terkandung didalam bumi dan tugas manusia untuk menjadikannya sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia.

• Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan waJib dlakukan sehingga tidak seorangpun tanpa bekerja - yang berarti siap menghadapi resiko – dapat memperoleh keuntungan atau manfaat(bandingkan dengan perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat tetap dan hampir tanpa resiko).

• Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi harus dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka sama suka tanpa paksaan dari pihak manapun.

• Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya (simetri dengan profesi akuntansi dan notaris).

• Zakat sebagai instrumen untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang merupakan hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga anjuran yang kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi dari pentingnya pemerataan kekayaan dan memerangi kemiskinan.



Dari uraian ringkas diatas memberikan gambaran yang jelas tentang prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi Islam dimana tidak hanya berhenti pada tataran konsep saja tetapi tersedia cukup banyak contoh-contoh kongkrit yang diajarkan oleh RasulAllah, yang untuk penyesuaiannya dengan kebutuhan saat sekarang cukup banyak ijtima' yang dilakukan oleh para ahli fikih disamping pengembangan praktek operasional oleh para ekonom dan praktisi lembaga keuangan Islam. Sesuai sifatnya yang universal maka tuntunan Islam tersebut diyakini akan selalu relevan dengan kebutuhan zaman, dalam hal ini sebagai contoh adalah pengembangan lembaga keuangan Islam seperti perbankan dan asuransi.

Sistim keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalah memperkenalkan sistim nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan muslim sebagai kewajiban agamis. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam.

Islam berbeda dengan agama-agama lainnya, karena agama lain tidak dilandasi dengan postulat iman dan ibadah. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga diinterpretasikan ke dalam praktek tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat diarahkan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal ini menjadi subyek yang dipelajari dalam Ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dengan ekonomi tradisional. Oleh sebab itu, dalam Ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili satuan ekonomi Islam.

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :

(1) Dalam Ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.

(2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.

(3) Kekuatan penggerak utama Ekonomi Islam adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur’an:

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu…’ (QS 4 : 29).

(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur’an mengungkap kan bahwa,

‘Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…’ (QS 57:7).

Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis, dimana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.

(5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api” (Al Hadits). Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.

(6) Orang muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur’an sebagai berikut:

‘Dan takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan balasan dengan sempurna usahanya. Dan mereka tidak teraniaya…’ (QS 2:281).

Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.

(7) Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (Nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Menurut pendapat para alim-ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle Assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (Net Earning from Transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi.

(8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (Riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara berturut-turut dari QS 39:39, QS 4:160-161, QS 3:130-131 dan QS 2:275-281.

Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk dipraktekkannya bunga.



III. PRINSIP DASAR OPERASIONAL BANK ISLAM

III.1. Prinsip Utama

Islam adalah suatu Din (way of life) yang praktis, yang mengajarkan segala sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, dengan mengabaikan waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya. Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia (human nature).

Prof. Emeritus Tan Sri Datuk Ahmed bin Mohd. Ibrahim menyatakan :

“Banking and financial activities have emerged to meet genuine human needs. Therefore, unless these activities belong to the category expressly forbidden by Islam, there is nothing in the nature of these activities which is contrary to the Syariah. Examples of forbidden activities include gambling and manufacturing and trading in forbidden goods such as liquor” .

Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Qur’an yaitu:

(1) Prinsip Al Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an :

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS 5:2)

(2) Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (Idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur’an :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” (QS 4: 29)

Perbedaan pokok antara Perbankan Islam dengan perbankan konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) bagi perbankan Islam. Bagi Islam, riba dilarang sedang jual-beli (Al Bai’) dihalalkan.

Sejak dekade tahun 70-an, umat Islam di berbagai negara telah berusaha untuk mendirikan bank-bank Islam. Tujuan dari pendirian bank-bank Islam ini pada umumnya adalah untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip syariah Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan dan bisnis lain yang terkait.

Prinsip utama yang dianut oleh bamk islam adalah pertama, larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi, kedua, menajalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah dan ketiga, memberikan zakat. Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (Bai’ al Muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman:

“Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kele- mahan – kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.”

Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, oleh karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian.

Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengambil resiko karena ber-musyarakah atau ber-mudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan Qard yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apapun karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba.

Secara mikro, Qard tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, Qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian Qard membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (National Income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demikian pula pengeluaran Shadaqah juga akan memberikan manfaat yang lebih kurang sama dengan pemberian Qard.

Islam juga tidak mengenal konsep Time Value of Money, namun Islam mengenal konsep Economic Value of Time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah saw, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (Deferred Payment) lebih tinggi daripada harga tunai (Cash).

Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan Time Value of Money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500,00, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp 1000,00. Sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak dari keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai .



III.2. Sistim Operasional Bank Islam

Sistim keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dalam bentuk penyertaan (equity financing) maupun dalam bentuk pinjamanan (debt financing). Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (Profit and Loss Sharing), sebagai metoda pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’) untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing), dengan produk-produknya sebagai berikut :

III.2.1. Produk Pembiayaan

(a) Equity Financing.

Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu :

1) Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)

Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (Syirkah al Inan) sebagai sebuah Badan Hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (Voting Right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian keuntungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan mengalami kerugian, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal. Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek dimana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan.

Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap. Inilah yang disebut dengan Musyarakah al Mutanakishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan lainnya, dimana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap.

2) Mudharabah (Trustee Profit Sharing)

Kontrak mudharabah adalah juga merupakan suatu bentuk Equity Financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dengan musyarakah. Di dalam mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal melainkan antara penyedia dana (Shahib al Maal) dengan entrepreneur (Mudharib). Di dalam kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan atau perniagaan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut.

Dalam hal obyek yang didanai ditentukan oleh penyedia dana, maka kontrak tersebut dinamakan Mudharabah al Muqayyadah. Dia menggunakan modal tersebut, dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, untuk menghasilkan keuntungan. Pada saat proyek sudah selesai, Mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh Shahib al Maal. Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi penyedia dana (Mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung, atau dapat menjadi penyedia dana (Shahib al Maal) dalam hubungan mereka dengan pihak yang mereka beri dana.

(b) Debt Financing

Kalimat Al Qur’an “… Allah menghalalkan jual beli (al bai) dan melarang riba…” (QS 2:275) menunjukkan bahwa praktek bunga adalah tidak sesuai dengan spirit Islam. Istilah jual-beli (Al Bai’) memiliki arti yang secara umum meliputi semua tipe kontrak pertukaran, kecuali tipe kontrak yang dilarang oleh syariah. Al Bai’ berarti setiap kontrak pertukaran barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang (termasuk uang) dan jasa yang lain. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash) atau dengan tangguh (deferred). Oleh karenanya syarat-syarat Al Bai’ dalam Debt Financing menyangkut berbagai tipe dari kontrak jual beli tangguh (Deferred Contract of Exchange) yang meliputi transaksi-transaksi sebagai berikut:

1. Prinsip Jual-beli

- Al Murabahah, yaitu kontrak jual beli dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan segera, sedang harga (baik pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama) atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara sekaligus (Lump Sum Deferred Payment). Dalam prakteknya, bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli dengan kewajiban membayar secara tangguh dan sekaligus.

- Al Bai’ Bitsaman Ajil, yaitu kontrak al murabahah dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan dengan segera sedang harga atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara angsuran (Installment Deferred Payment). Dalam prakteknya pada bank sama dengan murabahah, hanya saja kewajiban nasabah dilakukan secara angsuran.

- Bai’ as Salam, yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang yang diperjual-belikan dibayar dengan segera (secara sekaligus), sedangkan penyerahan atas barang tersebut dilakukan kemudian. Bai’ as salam ini biasanya dipergunakan untuk produk-produk pertanian yang berjangka pendek. Dalam hal ini, bank bertindak sebagai pembeli produk dan menyerahkan uangnya lebih dulu sedangkan para nasabah menggunakannya sebagai modal untuk mengelola pertaniannya. Karena kewajiban nasabah kepada bank berupa produk pertanian, biasanya bank melakukan Paralel Salam yaitu mencari pembeli kedua sebelum saat panen tiba.

- Bai’ al Istishna’, hampir sama dengan bai’ as salam yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi (manufactured) dan diserahkan kemudian. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (mustashni’ ke-1) kepada pemilik/pembeli proyek (bohir) dan mensubkannya kepada kontraktor (mustashni’ ke-2).

2. Prinsip sewa-beli

Sewa dan Sewa-beli (Ijarah dan Ijara wa Iqtina) oleh para ulama, secara bulat dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai lease dan financing lease. Al Ijarah atau sewa, adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberikan options untuk membeli barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut Al Ijarah wa Iqtina’, dimana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.

(c) Al Qard al Hasan

Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank dapat memberikan fasilitas yang disebut Al Qard al Hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya tetapi bank sama sekali dilarang untuk menerima imbalan apapun.

III.2.2. Produk Penghimpunan Dana (Funding)

Bank Islam menjalankan fungsi-fungsi financing tersebut adalah dalam kapasitasnya sebagai mudharib dengan menggunakan dana-dana yang diperoleh dari para nasabah sebagai Shahib al Maal, yang menyimpan dan menanamkan dananya pada bank melalui rekening-rekening sebagai berikut :

(a) Rekening Koran

Jasa simpanan dana dalam bentuk Rekening Koran diberikan oleh bank Islam dengan prinsip Al Wadi’ah yad Dhamanah, di mana penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, bank menerima simpanan dana dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dengan kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu.

Jadi, Bank memperoleh ijin dari nasabah untuk menggunakannya selama dana tersebut mengendap di bank. Nasabah sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh saldo yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan pembayaran kembali dari bank atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan dana tersebut selama mengendap di bank adalah menjadi hak bank. Bank diperbolehkan memberikan bonus kepada nasabah atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian. Bank menyediakan cek dan jasa-jasa lain yang berkaitan dengan rekening koran tersebut.

Berdasarkan prinsip wadiah ini penerima simpanan juga dapat bertindak sebagai Yad al Amanah (tangan penerima amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal itu bukan akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan (terjadi karena faktor di luar kemampuan penerima simpanan). Penerapannya dalam perbankan dapat kita saksikan, misalnya dalam pelayanan safe deposit box.

(b) Rekening Tabungan.

Bank menerima simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali berikut kemungkinan memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip Wadi’ah. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, namun tetapi berbeda dengan rekening koran, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.

(c) Rekening Investasi Umum

Bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi dari dana mereka dalam bentuk Rekening Investasi Umum berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan.

(d) Rekening investasi khusus

Bank dapat juga menerima simpanan dari pemerintah atau nasabah korporasi dalam bentuk rekening simpanan khusus. Rekening ini juga dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah, tetapi bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungannya biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus (mudharabah muqayyadah).

III.2.3. Produk Jasa-jasa

(a) Rahn

Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan uang sebagai gantinya. Akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang beresiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah untuk keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.

(b) Wakalah

Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak. Dalam aplikasinya pada Perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.

(c) Kafalah

Kafalah adalah akad jaminan satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (Bank Guarantee), baik dalam rangka mengikuti tender (Bid bond), pelaksanaan proyek (Performance bond), ataupun jaminan atas pembayaran lebih dulu (Advance Payment bond).

(d) Hawalah

Hawalah adalah akad pemindahan hutang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Prakteknya dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (Factoring). Namun kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan hutang/piutang tersebut.





(e) Jo’alah

Jo’alah adalah suatu kontrak dimana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas / pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah.

(f) Sharf

Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya.

Sebagaimana diuraikan diatas prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi Islam akan menjadi dasar beroperasinya bank Islam yaitu yang paling menonjol adalah tidak mengenal konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk tujuan komersial Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan / kerjasama(mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedang peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa adanya imbalan apapun. Didalam menjalankan operasinya fungsi bank Islam akan terdiri dari:

• Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi / deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank.

• Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana / sahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal ini bank bertindak sebagai manajer investasi)

• Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah

• Sebagai pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta penyaluran dana kebajikan (fungsi optional)



Dari uraian diatas maka produk perbankan Islam dalam prakteknya dapat diringkas sebagai berikut :

Produk /Jasa Prinsip Syariah

• Giro Wadiah yadhamanah

• Tabungan Wadiah yadhamanah mudharabah

• Deposito / rekening investasi bebas Mudharabah

• Rekening investasi tidak bebas penggunaan Mudharabah muqayyadah

• Piutang Murabahah Murabahah tidak tunai

• Investasi Mudharabah Mudharabah

• Investasi Musyarakah Musyarakah

• Investasi assets untuk disewakan Ijarah

• Pengadaan barang untuk dijual atau dipakai sendiri

• Salam atau ishtisna’

• Bank garansi Kafalah

• Transfer, inkaso, L/C, dll. Wakalah

• Safe deposit box Wadiah amanah

• Surat berharga Mudharabah

• Jual beli valas (non speculative motive) Sharf



IV. Pengembangan, Pengawasan dan Prospek Pebankan Islam

Sejak awal abad pertengahan hingga awal abad ke-20 konsep bank syariah yang berintikan kepada bagi hasil masih merupakan kajian akademis oleh para ilmuwan muslim, dalam hal ini lebih banyak para ekonom atau bankir yang meragukan sistem perbankan syariah dapat diterapkan dalam sistem perekonomian. Sementara itu perbankan konvensional yang kita kenal dewasa ini merupakan suatu proses evolusi dan uji coba yang telah berjalan dengan mapan selama berabad-abad dalam masyarakat. Dengan perjalanan waktu yang cukup panjang tersebut, maka tidaklah mengherankan apabila persepsi hampir sebagian besar masyarakat tertanam pengertian bahwa hanya terdapat satu sistem perbankan di dunia ini, yaitu sistem operasi bank dengan bunga. Pengertian bahwa bank akan terkait dengan suku bunga merupakan suatu pengertian definitif dalam dunia bisnis, dan merupakan kaidah akademik pada berbagai literatur para pakar ekonomi perbankan.

Selain itu masih banyak masyarakat yang memiliki persepsi yang belum tepat mengenai kegiatan usaha bank syariah. Secara visual dan analogis masyarakat banyak yang menafsirkan bank syariah sebagai bank konvensional dengan menggunakan bagi hasil dalam penghitungan kredit dan simpanan dana. Pandangan yang demikian dapat dipahami karena informasi dan publikasi mengenai kegiatan bank syariah sangat minim. Memasuki gerbang pemahaman bank syariah akan berhadapan dengan suatu paradigma baru, suatu pengertian atau pandangan yang sama sekali baru dan sejenak harus melupakan pola pikir bank konvensional. Paradigma baru yang pertama adalah hubungan bank dengan nasabah. Dalam bank syariah hubungan bank dengan nasabah adalah hubungan kontrak (contractual agreement) atau akad antara investor pemilik dana atau shahibul maal dengan investor pengelola dana atau mudharib yang bekerjasama untuk melakukan usaha yang produktif dan berbagi keuntungan secara adil (mutual investment relationship). Dengan adanya hubungan kerjasama investasi tersebut pada dasarnya akan mewujudkan suatu hubungan usaha yang harmonis karena berdasarkan suatu asas keadilan usaha dan menikmati keuntungan yang disepakati secara proporsional. Sedangkan apabila kita amati hubungan nasabah dan bank dalam bank konvensional maka dalam bank konvensional hubungan antara bank dengan nasabah pada dasarnya merupakan suatu hubungan kreditur dengan debitur dengan menerapkan sistem bunga.

Walaupun terdapat keinginan manajemen bank konvensional untuk mewujudkan suatu hubungan yang bersifat pembinaan dan kerjasama antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur, namun dalam prakteknya tujuan yang baik tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan secara konsisten dan efektif karena pada dasarnya tujuan akhir dari bank adalah meraih profit atau keuntungan dengan seringkali mengabaikan kondisi nyata nasabah apakah usahanya sedang mengalami keuntungan atau kerugian. Dengan demikian tidak dapat terhindarkan adanya suatu hubungan eksploitatif antara bank dengan nasabah atau sebaliknya antara nasabah dengan bank, hal ini dapat terjadi karena dalam pemberian kredit bank akan berusaha mendapatkan bunga yang setinggi-tingginya sedangkan nasabah akan berusaha menekan bunga serendah-rendahnya.

Sebaliknya nasabah sebagai deposan akan berupaya untuk mendapatkan bunga setinggi tingginya tanpa memperhatikan kondisi bank yang sebenarnya sedang kesulitan likuiditas sehingga secara terus menerus mengalami negative spread dan akhirnya modal negatif. Walaupun telah diakui bahwa sistem bank konvensional merupakan sistem yang aplicable diseluruh penjuru dunia, namun dalam kenyataannya terlihat kesulitan untuk menahan negative spread yang terjadi di negara kita sehingga sangat merepotkan kondisi perbankan di Indonesia.

Paradigma yang kedua adalah adanya larangan-larangan kegiatan usaha tertentu oleh bank syariah yang bertujuan menciptakan kegiatan perekonomian yang produktif, adil dan menjunjung tinggi moral. Bank syariah akan mewujudkan produktifitas karena akan mengikis habis konsep time value of money dan melarang transaksi yang bersifat spekulatif. Sejalan dengan konsep Islam mengenai harta benda dan sumber daya alam, maka harta benda dan sumber daya alam yang ada harus dimanfaatkan, digunakan, dan produktif untuk kesejahteraan masyarakat. Konsep penggunaan harta benda dan sumber daya alam ini akan sangat menentang adanya penumpukan harta benda, tanah, atau sumber daya alam yang dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat dan tidak produktif, termasuk pemutaran dana pada bank tanpa adanya investasi yang nyata. Bank syariah dapat menciptakan perekonomian yang adil karena konsep usaha dalam bank syariah adalah bagi hasil dan tidak memungkinkan seorang deposan yang memiliki uang yang banyak menanamkan dananya pada bank tanpa menanggung risiko sedikitpun, sementara pihak bank atau pengelola dana akan dibebani tanggungjawab yang sangat besar untuk mengelola dana dan menghasilkan keuntungan. Adalah suatu yang sangat adil seorang deposan menerima proporsional keuntungan nyata yang diterima oleh bank dan juga menanggung risiko kerugian. Argumen lain tentang bank syariah, yaitu memiliki keunggulan dalam penjaga lingkungan dan moral karena didalam struktur organisasi bank syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah. Bank syariah dilarang menyalurkan dana untuk suatu proyek yang akan berdampak secara langsung atau tidak langsung dengan kerusakan lingkungan. Selain itu bank syariah dilarang menyalurkan dana untuk proyek yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral seperti pembiayaan industri minuman keras, sarana perjudian, atau proyek-proyek lain yang dapat merusak moral atau kesehatan manusia. Tujuan dan nilai-nilai moral dalam bank syariah berdasarkan pengamatan logis the man in the street maupun disodorkan untuk penelitian akademis akan membentuk suatu hipotesa awal yang valid bahwa bank syariah sangat menunjang terwujudnya sistem perekonomian yang sehat dan manusiawi bahkan Khan dan Mirakhor (1989) menyatakan bahwa perbankan Islam akan lebih stabil dalam menyerap goncangan perekonomian eksternal dibandingkan dengan perbankan konvensional Paradigma yang ketiga adalah kegiatan usaha bank syariah yang lebih variatif dibandingkan dengan bank konvensional yang kita kenal dewasa ini, karena dalam bank syariah tidak hanya berlandaskan sistem bagi hasil tetapi juga sistem jual beli, sewa beli, serta penyediaan jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinisip syariah. Walaupun terdapat beberapa pendapat para ahli yang mempertanyakan kembali mengenai fungsi kelembagaan bank syariah sebagai “bank” atau “perusahaan investasi” namun demikian secara aplikasi tidak dapat diragukan lagi bahwa keragaman kegiatan usaha bank syariah tersebut telah menumbuhkembangkan berbagai aspek transaksi ekonomi dalam masyarakat sehingga bank syariah akan mamiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kebutuhan dunia usaha.

Selanjutnya apabila kita amati lebih lanjut maka pos-pos pada neraca bank syariah akan berbeda dengan bank konvensional. Pos-pos neraca bank syariah akan berpedoman kepada standar akuntansi lembaga keuangan Organisasi Akuntansi dan Auditing bagi Lembaga Keuangan Islam (AAOIFI) yang berkedudukan di Bahrain pada tahun 1991. Dengan mengacu kepada standar akuntansi yang diterbitkan tersebut maka dapat kita lihat perbedaan yang subtantif dengan bank konvensional pada pos-pos neraca sebagai berikut:

BANK KONVENSIONAL

Aktiva

1. Kas

2. Bank Indonesia

• Giro

• Seritifikat Bank Indonesia

• Lainnya

3. Antar Bank Aktiva

4. Surat-surat berharga dan tagihan lainnya

• surat-surat berharga yang dimiliki

• tagihan lainnya

5. Kredit

6. Penyertaan

7. Cadangan aktiva produktif

8. Aktiva Tetap dan inventaris

9. Antar kantor aktiva

10. Rupa-rupa aktiva

BANK SYARIAH

Aktiva

1. Kas dan setara kas

2. Piutang penjualan

3. Investasi:

• investasi dlm surat berharga

• investasi mudharabah

• investasi musyarakah

• penyertaan modal

• persediaan

• investasi dlm real estate

• aset untuk disewakan

• istishna

• investasi lain

4. Aset lain

P a s i v a

1. Giro

2. Kewajiban-kewajiban segera lainnya

3. Tabungan

4. Simpanan Berjangka

5. Bank Indonesia

• Kredit likuiditas

• Dana kelolaan

• Fasilitas diskonto

• Lainnya

6. Antar bank pasiva

7. Surat-surat berharga yang diterbitkan

8. Pinjaman yang diterima

9. Setoran jaminan

10. Antar kantor pasiva

11. Rupa-rupa pasiva

12. Modal

13. Cadangan

14. Laba/rugi



P a s i v a

1. Current Account dan Saving Account

2. Current Account bank/lembaga keu

3. Piutang

4. Dividen yang diusulkan

5. Kewajiban lainnya

6. Rekening investasi tdk terbatas

7. Saham minoritas

8. Modal pemilik:

• modal disetor

• cadangan

• laba ditahan

*)Sumber: Accounting & Auditing Standards for Islamic Financial Institutions, AAOIFI, 1998



Adanya penyajian laporan keuangan bank syariah akan membuka pengetahuan baru bahwa dalam laporan sisi aktiva pada dasarnya melaporkan pengelolaan dana deposan dalam berbagai bentuk investasi hal ini terkait erat dengan fungsi bank syariah sebagai lembaga pengelola investasi (manajemen investment) atau agen investasi (investment agent). Pada pos aktiva dikenal berbagai bentuk-bentuk pos neraca yang baru yaitu berbagai macam investasi oleh bank (mudharabah, musyarakah, aset dalam ral estate , istishna, investasi lain), piutang penjualan yaitu piutang yang timbul dari marjin jual beli atau “murabahah”, persediaan yaitu pos untuk menampung aset yang masih dalam proses penjualan, dan aset dalam sewa yaitu aset yang masih dimiliki oleh bank dalam transaksi sewa beli. Selain itu walaupun masih menjadi perdebatan yang hangat diantara para Islamic Accounting Schollar mengenai konsep kas dan konsep akrual, laporan keuangan laba/rugi lembaga keuangan syariah cenderung dihitung secara cash basis dengan alasan lebih menunjukkan transaksi keuangan bank yang nyata.







IV.1. Mekanisme Investasi Dalam Bank Syariah: Bagi Hasil dan Non-Bagi hasil

Dengan memperhatikan berbagai referensi mengenai konsep penyaluran dana bank syariah maka mekanisme investasi atau pembiayaan dalam bank syariah pada dasarnya dibagi dalam dua golongan utama yaitu bagi hasil “Profit and loss sharing modes” atau PLS, dan “ Non Profit and loss sharing modes” atau Non-PLS. Dalam model PLS maka antara bank dengan nasabah terdapat hubungan sebagai pengelola dana dan pemilik dana atau sebaliknya dengan memperjanjikan nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh. Sedangkan dalam model Non-PLS maka antara bank dengan nasabah terdapat hubungan transaksi jual beli atau perolehan imbalan atas jasa, sehingga bank akan memperoleh margin keuntungan dari transaksi jual beli, atau fee dari pelayanan jasa yang diberikan.

Selain itu penting untuk dicermati adanya 2 jenis skim operasi dalam bank syariah yaitu Twotier Mudaraba dan Two windows sebagaimana diulas oleh Khan and Mirakhor (1993) dalam analisis model pembiayaan bank syariah. Adanya dua bentuk skim operasi bank syariah tersebut akan berpengaruh cukup siginifikan terhadap perhitungan risiko pada kegiatan usaha bank khususnya dari sisi liabilities. Pada penerapan skim Two-tier Mudaraba memiliki konsekuensi adanya integrasi penuh aktiva dan pasiva bank. Dalam skim tersebut maka deposan akan diperlakukan sebagai akad mudharabah sehingga bank dapat menginvestasikan giro maupun simpanan berjangka lainnya dalam pembiayaan atau investasi lainnya. Dengan demikian seluruh simpanan akan diperlakukan tanpa jaminan “non guaranteed” karena seluruhnya berbasis mudharabah. Reserve requirement dalam skema ini akan dihitung berdasarkan sifat dan jenis kewajiban segera yang harus disiapkan oleh bank.

Dalam skim Two Windows sisi pasiva bank dalam simpanan dibagi dalam dua bentuk yaitu giro (demand deposits) dan simpanan investasi (investment deposits). Simpanan giro diperlakukan sebagai simpanan amanah yang bersifat guaranteed, sehingga menjadi kewajiban bank untuk menyimpan dan mengembalikan setiap saat apabila diminta oleh pemiliknya. Berbeda dengan skim two-tier mudaraba, dalam skim two windows, bank harus memiliki reserve requirement 100% sesuai dengan simpanan giro masyarakat. Simpanan giro ini tidak dapat diinvestasikan karena betul-betul diperlakukan sebagai simpanan amanah. Adanya perbedaan skim operasi bank syariah tersebut memiliki pengaruh yang cukup mendasar dalam pengaturan prinsip kehati-hatian bagi operasi perbankan syariah, yaitu dalam penghitungan capital adequacy ratio maka yang diperhitungkan sebagai aset tertimbang menurut risiko adalah bagian yang tidak termasuk giro karena bersifat guaranteed. Konsekuensi lainnya adalah berkaitan dengan menajemen likuiditas yang dituangkan dalam maturity profile yang mengharuskan bank untuk setiap saat memelihara likuiditas yang cukup besar sebagai antisipasi penarikan dana giro yang sebenarnya untuk periode waktu yang lebih banyak menjadi dana nganggur atau idle. Selanjutnya karena adanya pemisahan antara sisi guaranteed dan unguaranted maka secara ekonomis dari sisi mobilisasi dana akan terjadi penumpukan dana yang tidak produktif pada sisi guaranteed neraca bank.



IV.2. Pengawasan dan Penerapan Prinsip Kehati-hatian Perbankan Syariah

Berkaitan dengan kegiatan usaha bank syariah, maka pengawasan bank merupakan salah satu tugas pokok bank sentral atau lembaga yang dibentuk secara khusus untuk mengawasi perbankan. Dalam menjalankan tugasnya otoritas pengawas perbankan mutlak memerlukan data dan informasi yang senantiasa kini dan akurat dari bank-bank yang diawasinya dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Selain memiliki data yang kini dan akurat, pengawasan perbankan syariah juga memerlukan piranti pengaturan dalam bentuk standar pengukuran kinerja atau tingkat kesehatan perbankan seperti standar CAMEL atau prinsip kehatian-hatian antara lain Ketentuan Pemenuhan Modal Minimum (KPMM atau CAR), Posisi Devisa Neto (PDN), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), atau Nisbah Pembiayaan Terhadap Simpanan (NPTS) yang kita kenal selama ini. Dengan dikenalnya sistem perbankan syariah maka perlu kita kaji apakah penerapan standar CAMEL dan ketentuan kehatihatian (prudential banking) tersebut dapat diterapkan pula kepada sistem perbankan syariah.

Mengingat secara mekanisme kegiatan usaha terdapat perbedaan yang prinsipil antara bank konvensional dan bank syariah, maka timbul pertanyaan mendasar bagaimana penerapan prudential regulation pada bank syariah. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah prinsip kehati-hatian diperlukan dalam perbankan syariah mengingat hakikatnya risiko investasi dana masyarakat pada bank syariah ditanggung pula oleh pihak pemilik dana atau investor dana.

Adanya adagium bahwa risiko bank syariah adalah juga risiko deposan menimbulkan perdebatan yang cukup hangat mengenai penerapan model-model prinsip kehati-hatian pada bank syariah. Penerapan prinsip kehati-hatian pada bank syariah telah lama menjadi isu para pakar perbankan. Pada working paper IMF (Maret 1998) “Islamic Banking: Issues in Prudential Regulations and Supervision” dinyatakan bahwa implementasi prinsip kehati-hatian pada bank syariah dapat menggunakan referensi standar Basle Committee on Banking Supervision (BIS) sebagaimana telah diterapkan pada bank konvensional. Namun demikian disadari bahwa standar BIS tidak dapat sepenuhnya diadopsi dalam perbankan syariah. Terdapat beberapa kendala yang dapat menyulitkan penerapan standar prinsip kehati-hatian yang berpatokan kepada BIS yaitu adanya perbedaan penerapan prinsip syariah dalam beberapa negara muslim, adanya perbedaan derajat penerapan prinsip syariah dalam lembaga atau instrumen perekonomian seperti Iran yang konservatif dan Malaysia yang liberal.

Selanjutnya dengan mengacu kepada standar CAMEL bank konvensional, maka secara umum dapat diajukan beberapa pemikiran yang berupa hipotesa awal mengenai model-model pengawasan bank syariah berdasarkan prinsip kehatihatian sebagai berikut:

Modal disetor Rp 3 T n/a -Jumlah yang sama dengan bank konvensional, CAR minimum 8% minimum 8% atau lebih rasio modal yang ditetapkan minimal sama dengan standard bank konvensional, bahkan sebaiknya lebih besar (IMF min 8%, AAOIFI menyarankan sekitar 12%).

Manajemen Penilaian kinerja manajemen umum dan manajemen risiko berdasarkan penilaian atas faktor:

• kompetensi teknis, kepemimpinan, kemampuan administratif;

• kepatuhan terhadap ketentuan perbankan;

• kemampuan untuk merencanakan dan menghadapi perubahan;

• kecukupan dan kepatuhan terhadap kebijakan internal;

• suksesi, dan kemandirian.

Kebutuhan masyarakat pada Penilaian kinerja manajemen umum dan manajemen risiko merupakan faktor pokok dengan penekanan pada:

• kemampuan SDM dalam pengelolaan bank syariah sebagai lembaga bisnis;

• integritas dan kepatuhan terhadap prinsip syariah.

Rentabilitas Penilaian atas dari kinerja rentabilitas yang dihitung rasio ROA, ROE dan BOPO Penilaian atas faktor:

• kemampuan untuk menutup kerugian dan menyediakan kecukupan modal;

• trend rentabilitas;

• perbandingan peer group;

• kualitas dan komposisi pendapatan bersih.

Penilaian dapat difokuskan pada kinerja atas perhitungan rasio ROA, ROE, dan BOPO dan trend rentabilitas untuk mengevaluasi kemajuan usaha bank. Penilaian atas kemampuan likuiditas yang dihitung dari rasio likuiditas dan Interbank

Call Money: Penilaian atas faktor:

• tingkat volatilitas waktu simpanan

• ketergantungan pada dana yang sensitif terhadap suku bunga

• kemampuan teknis pengelolaan kewajiban

• tersedianya aset yang likuid

• akses pada pasar uang antar bank termasuk ke bank sentral.

Rasio likuiditas dengan memasukkan faktor maturitas sebagai faktor yang penting terutama kemampuan bank dalam akses terhadap pasar uang antar bank termasuk LOLR (LOLR). Namun demikian dari hipotesa di atas masih merupakan bentuk kajian yang sangat analog dengan asumsi memperbandingkan dua mekanisme yang secara teknis setara. Sebelumnya perlu kita sadari terlebih dahulu, bahwa sebagaimana pada umumnya pembentukan suatu sistem baru, maka sistem perbankan syariah dewasa ini berada pada tahap pembentukan. Pada tahap pembentukan ini maka diperlukan suatu perlakuan edukasi dan tahapan agar embriyo dari sistem baru tersebut dapat bertahan hidup dan berkembang. Dengan demikian apabila pada tahap pertumbuhan perbankan syariah sudah harus menjalani persyaratan yang ketat yang diperlakukan kepada sistem perbankan yang sudah mapan seperti pada bank konvensional, maka dengan kondisi sumber daya yang dewasa ini belum memadai, tanpa adanya jaringan kantor yang cukup, serta tanpa didukung oleh lingkungan yang kondusif, dapat terjadi pertumbuhan sistem perbankan syariah akan mengalami pertumbuhan yang prematur dan mengecewakan. Hal ini membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa pengembangan sistem perbankan syariah memerlukan suatu perlakuan yang konstruktif dari pemerintah atau otoritas moneter tanpa mengakibatkan timbulnya moral hazard dari dukungan atau perlakuan tersebut.

Selanjutnya berdasarkan sifat pengelolaan simpanan atau investasi dana masyarakat pada bank syariah yang bersifat “un-guaranteed” kecuali simpanan giro wadiah, maka dari analisa risiko dapat kita terima argumen bahwa simpanan atau investasi pada bank syariah memiliki “risiko” yang lebih tinggi. Risiko disini dalam tanda kutip karena sebenarnya posisi risiko yang diartikan dalam bank syariah adalah risiko investasi dalam hubungan yang murni investor dengan investor, tidak dalam arti penjaminan pembayaran simpanan pada bank konvensional yang secara esensial bertentangan dengan prinsip investasi yang mendudukan bank dengan deposan atau investor dalam posisi yang berimbang dalam mendapatkan keuntungan dan memikul risiko kerugian. Dalam kondisi masyarakat yang sangat heterogen baik motivasi maupun integritasnya maka pengawasan perbankan syariah memerlukan suatu mekanisme perlindungan yang bersifat ekstra dalam upaya melindungi sistem bank syariah yang sarat dengan nuansa kepercayaan dan moralitas. Mekanisme pengamanan yang diperlukan terutama dari segi perlindungan hukum dan bumper investasi. Perlindungan hukum berupa pengaturan dan penegakan hukum yang keras terhadap pihak-pihak manajemen atau nasabah yang melakukan pembobolan atau kejahatan keuangan pada bank syariah, sedangkan bumper investasi berupa penerapan sistem agunan yang dapat menghindarkan itikad buruk para investor yang menerima pembiayaan bank.



IV.3. Sumber Daya Manusia Perbankan Syariah; Kenyataan dan Harapan

Dewasa ini di Indonesia bahkan ditingkat global dirasakan masih langka bankir yang memiliki keahlian operasional bank syariah. Bahkan para bankir yang telah mengikuti berbagai kursus dan pelatihan dalam prakteknya masih merasakan keterbatasan pengetahuannya tentang aplikasi model-model penghimpunan dana, pembiayaan dan jasa dari bank syariah. Adanya kelangkaan ini merupakan hasil dari masih sangat terbatasnya universitas atau lembaga pendidikan tinggi di negara kita yang menyediakan kurikulum ekonomi dan perbankan syariah, terlebih untuk mencari lembaga pendidikan tinggi yang memiliki Islamic economic research centre masih jauh dari harapan.

Perbankan syariah menuju abad mendatang harus memiliki sumber daya manusia yang berdaya saing dan handal. Bank syariah memerlukan SDM yang memiliki dua sisi kemampuan yaitu ketrampilan pengelolaan operasional (profesionalism) dan pengetahuan syariah termasuk akhlak atau moral dengan integritas yang tinggi. Penjabaran lebih lanjut dari SDM bank syariah adalah memenuhi persyaratan STAF kependekan dari shidiq (jujur), tabligh (membawa dan menyebarluaskan kebaikan), amanah (dapat dipercaya), dan fathonah (pandai, memiliki kemampuan). Bagi otoritas pengawasan persyaratan SDM bank syariah yang STAF ini merupakan suatu hal yang mutlak dan tidak ada kompromi. Persyaratan STAF ini harus secara eksplisit dan implisit ditetapkan dalam berbagai ketentuan dan petunjuk otoritas pengawas. Bagi pengurus bank yang tidak memiliki salah satu dari persyaratan tersebut tidak dapat duduk dalam kepengurusan, bahkan sebagai komisaris sekalipun.

Mengingat fungsi bank syariah yang sarat dengan nuansa kepercayaan dan moral, maka bahaya potensial yang dihadapi oleh para pengurus bank adalah adanya moral hazard yang berkaitan erat dengan sifat bagi hasil dalam kegiatan usaha bank. Moral hazard ini bukan hanya bersumber dari para nasabah melainkan juga dari para pihak yang berkepentingan yang berupaya mempengaruhi manajemen bank. Independensi bukan hanya milik otoritas moneter atau pengawasan, tetapi juga mutlak dimiliki oleh para pengurus bank syariah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam membangun SDM perbankan syariah maka seharusnya pendidikan dan pelatihan merupakan pos prioritas dalam anggaran bank syariah. Supaya anggaran pendidikan dan pelatihan tersebut menjadi investasi yang berharga bagi bank syariah maka dalam program jangka pendek strategi integrasi antara pemilihan jenis pendidikan atau pelatihan, serta pegawai atau pejabat peserta pelatihan yang memiliki komitmen, merupakan penunjang utama keberhasilan. Dalam jangka panjang pendidikan atau pelatihan bagi seluruh jenjang manajemen dan pegawai sebaiknya dilakukan secara bertahap sesuai dengan prioritas yang lebih bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai . Komitmen bagi pegawai untuk menerapkan prinsip syariah secara konsisten



V. PRINSIP DASAR AKUNTANSI BANK ISLAM

Dengan prinsip operasi yang berbeda dengan bank konvensional memberikan implikasi perbedaan pada prinsip akuntansi baik dari segi penyajian maupun pelaporannya.

Laporan akuntansi bank Islam akan terdiri dari :

• Laporan posisi keuangan / neraca

• Laporan laba-rugi

• Laporan arus kas

• Laporan perubahan modal

• Laporan perubahan investasi tidak bebas /terbatas

• Catatan atas laporan keuangan

• Laporan sumber dan penggunaan zakat

• Laporan sumber dan penggunaan dana qard/qardul hasan

Beberapa hal yang menonjol dalam akuntansi bank Islam adalah :

• Giro dan tabungan wadiah dicatat / disajikan sebagai hutang dalam neraca.

• Rekening investasi mudharabah bebas / deposito dicatat/disajikan sebagai rekening tersendiri antara hutang dan modal (bukan hutang).

• Rekening investasi tidak bebas dicatat terpisah sebagai off balance sheet account dalam bentuk laporan perubahan posisi investasi tidak bebas.

• Piutang murabahah dicatat sebesar sisa harga jual yang belum tertagih dikurangi dengan margin yang belum diterima

• Investasi mudharabah dan musyarakah disajikan sebesar sisa nilai modal yang disertakan atau diinvestasikan

• Aset yang disewakan dicatat sebesar harga perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan.

• Pendapatan pada umumnya diakui secara cash basis sedang beban tetap secara accrual basis.

• Bagi hasil antara mudharib dan sahibul mal dilakukan atas profit loss sharing atau revenue sharing, sedangkan pendapatan bank yang berasal dari investasi dana sendiri atau dari dana yang bukan berasal dari rekening investasi sepenuhnya menjadi pendapatan bank, disamping itu pendapatan jasa bank sepenuhnya menjadi pendapatan bank yang tidak dibagi hasilkan.



Prinsip akuntansi bank Islam mengacu pada Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institution yang diterbitkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution yang berpusat di Bahrain yang didirikan pada tahun 1991 atas prakarsa IDB dan beberapa lembaga keuangan Islam besar dan sekarang telah mempunyai anggota hampir seluruh lembaga keuangan Islam. Bank Indonesia bersama IAI sedang dalam proses untuk mengadopsi standard tersebut menjadi standar akuntansi bank syariah di Indonesia yang diharapkan selesai tahun ini.



VI. PENUTUP

Meskipun tidak semua mengakui secara terus terang tetapi disadari sepenuhnya bahwa sistem ekonomi yang berbasis kapitalis dan interest base serta menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan bahkan secara besar-besaran ternyata memberikan implikasi yang serius terhadap kerusakan hubungan ekonomi yang adil dan produktif. Secara politis dan praktis upaya memperkenalkan sistem keuangan berdasarkan pandangan Islam tersebut masih harus melewati jalan panjang tidak saja dari segi pemantapan fondasi teoritis dan praktis tetapi iebih dari itu diperlukan kekuatan untuk meyakinkan kelompok pelaku utama keuangan internasional dan negara maju bahwa sistem keuangan yang berbasis pada prinsip ekonomi Islam dapat menjamin terselenggaranya perekonomian dunia yang lebih adil dan membawa kesejahteraan umat manusia sesuai dengan konsep Islam "rahmatan lil alamin" Kajian atas kekayaan prinsip ekonomi Islam serta praktek ekonomi yang berlaku pada masa Rasulullah khususnya pada periode Madinah telah lama dilakukan, sehingga pada masa sekarang telah tumbuh dan berkembang berbagai pusat kajian akademis tentang ekonomi Islam khususnya tentang lembaga keuangan Islam diberbagai negara bahkan dinegara non muslim sekalipun seperti di Harvard Amerika, beberapa universitas di London, Australia dan tentu saja di negara-negara berpenduduk muslim termasuk Malaysia dan Indonesia.

Dengan semakin kokohnya landasan hukum bank syariah di Indonesia melalui penyempurnaan Undang-undang no 7 tahun 1992 tentang Perbankan dengan Undangundang no 10 tahun 1998 yang kemudian dilengkapi dengan kebijakan Bank Indonesia berupa SK Direksi Bank Indonesia dan melihat potensi yang ada baik didalam negeri maupun diluar negeri maka diperkirakan prospek tumbuh dan berkembangnya bank

syariah di Indonesia akan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan mengingat

adanya peluang bank konvensional untuk membuka cabang atau mengkonversi cabangnya menjadi cabang syariah.

Sementara itu sampai saat ini jumlah lembaga keuangan Islam diseluruh dunia telah mendekati jumlah 200 buah tersebar baik dinegara berpenduduk muslim maupun dinegara barat seperti di Inggris, Swiss, Denmark, dan lain-lain, juga di Amerika dan Australia dalam bentuk koperasi-koperasi. Diharapkan sistem perbankan Islam atau bahkan sistem ekonomi Islam akan menjadi altematif sistem yang mampu mengatasi ketimpangan sistem keuangan internasional yang sedang terpuruk dewasa ini.

Berkaitan dengan kegiatan usaha bank syariah, maka pengawasan bank merupakan salah satu tugas pokok bank sentral atau lembaga yang dibentuk secara khusus untuk mengawasi perbankan. Dalam menjalankan tugasnya otoritas pengawas perbankan mutlak memerlukan data dan informasi yang senantiasa kini dan akurat dari bank-bank yang diawasinya dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Selain memiliki data yang kini dan akurat, pengawasan perbankan syariah juga memerlukan piranti pengaturan dalam bentuk standar pengukuran kinerja atau tingkat kesehatan perbankan.

Dengan prinsip operasi yang berbeda dengan bank konvensional memberikan implikasi perbedaan pada prinsip akuntansi baik dari segi penyajian maupun pelaporannya. Hal ini memerlukan sumber daya yang berkualitas yang setidaknya memiliki sifat shidiq (jujur), tabligh (membawa dan menyebarluaskan kebaikan), amanah (dapat dipercaya), dan fathonah (pandai, memiliki kemampuan).

No comments:

Post a Comment